Sebagian kaum muslimin ada yang menjalani bulan Ramadhan di negeri
kafir. Bulan Ramadhan banyak berkah dan banyak aktifitas ibadah yang
ditekankan, padahal telah kita ketahui bahwa sarana dan prasarana ibadah
serta berbagai pendukungannya bisa jadi sangat terbatas di negeri
kafir.
Pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, “Orang yang terbiasa menunaikan (menjalani) bulan Ramadhan di negeri kafir, apakah ia berdosa?”
Jawaban beliau,
Ini ada rinciannya. Seorang muslim akan gembira dengan datangnya
bulan Ramadhan dan merasa senang jika ia menjumpai bulan Ramadhan
sedangkan ia berada di negeri Islam. Karena menjalani bulan Ramadhan di
negeri Islam ada syiar-syiar yang nampak, yang ini tidak tidak dirasakan
jika ia berada di luar negeri Islam. Ia akan melihat orang-orang
shalat, banyaknya mereka dan mereka belomba-lomba dalam ketaatan. Maka
bertambahlah semangat, kekuatan dan keinginan menuju kebaikan.
Adapun mereka yang berada di negeri kafir maka ia dalam keadaan
kurang baik karena pahalanya bisa berkurang. Karena sedikitnya amal
atau melakukan dosa karena melakukan yang diharamkan. Bisa jadi ia
melakukan berbagai maksiat karena jauhnya ia dari orang-orang yang
melakukan kebaikan (orang-orang shalih). Maka wajib bagi mereka yang
terbiasa (menjalani Ramadhan di negeri kafir) agar bertakwa kepada Allah
dan meninggalkan kebiasaan ini. Hendaklah ia berpuasa Ramadhan di
negeri Islam.
Akan tetapi jika ia berpuasa (Ramadhan) di negeri kafir karena pekerjaan
yang disyariatkan seperti berdakwah, menjadi Imam shalat atau amal
kebaikan yang seorang muslim bisa diberi pahala atasnya. Bisa jadi ia
mendapat pahala yang lebih besar daripada ia berada di negeri Islam
karena ia sudah berdakwah dan mengajarkan manusia kebaikan sekaligus
menjaga dirinya dari setiap keburukan (Majmu’ Fatawa 15/330).
Perlu diketahui bahwa seorang muslim dilarang bermudah-mudah pergi ke
negeri kafir tanpa ada keperluan khusus yang dizinkan syariat. Terlebih
jika ia ingin tinggal di negeri kafir, apalagi di negeri kafir tersebut
sulit atau bahkan dihalangi untuk menjalankan syariat-syariat islam.
Jumlah masjid sangat terbatas dan susah dicari, saudara Muslim sangat
sedikit untuk saling mengingatkan dan menasehati serta banyaknya maksiat
dan pelanggaran norma-norma kesusilaan.
إِنَّ الَّذِينَ
تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ
قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ
اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ
وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:”Dalam
keadaan bagaimana kamu ini”. Mereka menjawab:”Adalah kami orang-orang
yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata:”Bukankah bumi
Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu (tempat orang muslim)”.
Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya
dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An Nisaa’: 98).
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ -أَيْ خَلَطَ- فَهُوَ مِثْلُهُ
“Barang siapa yang berkumpul dengan musyrik dan tinggal bersamanya maka dia sepertinya” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ahaadits Shahihah No. 2330).
Beliau juga bersabda,
أَنَا بَرِيْءٌ مِنْ مُسْلِمٍ سَاكِنِ الْمُشْرِكِيْنَ
“Aku berlepas diri dari seorang muslim yang menempati tempat tinggal kaum musyrikin” (HR Abu Dawud 2645, At Tirmidzi 1605 dan An Nasaai 8/36 dishahihkan Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil No.1207).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menegaskan hukum asalnya tidak boleh berpergian ke negeri kafir kecuali dengan beberapa syarat. Beliau mengatakan,
Adapun melakukan safar ke negeri kafir maka saya berpendangan tidak boleh kecuali dengan syarat:
- hendaknya memiliki ilmu agama yang bisa mencegahnya dari syubhat karena di negeri kafir mereka memberikan syubhat kepada anak-anak kaum muslimin hingga mengeluarkan mereka dari agama Islam
- hendaknya memiliki agama (iman) yang bisa mencegahnya dari syahwat, janganlah ia pergi ke negeri kafir dengan agama (iman) yang lemah. Maka syahwat akan mengalahkannya dan menjerumuskannya menuju kebinasaan
- ia memang butuh melakukan safar tersebut karena tidak dijumpai kekhususan (misalnya belajar ilmu dan keahlian khusus) di negeri Islam
Inilah tiga syarat jika terwujud hendaknya ia bersafar jika tidak ada
satu saja maka hendaklah ia tidak bersafar. Karena menjaga agama lebih
penting daripada menjaga yang lain (Kitabul Ilmi karya Syaikh Al-‘Utsaimin hal 144).
Alhamdulillah, semoga bermanfaat.
Penyusun : Khaerul
Artikel Shalat, Pintu Meraih Ampunan
==========
follow twitter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar